A. Kerajaan Siang
Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a’ un souverain) . (Pelras, 1977 : 253). Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini terletak di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep – telah dikunjungi oleh kapal–kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548. (M Ali Fadhillah, 2000).
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004). Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng ( Gadinaro , menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II. (A Zainal Abidin Farid : 1986).
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari Erofah. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545 Siang berpenduduk sekitar 40.000 jiwa. Penguasanya sangat yakin terhadap sumber – sumber daya dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negaranya sehingga menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka (Pelras 1973 : 53). Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Gowa dan Tallo pernah jadi vasal Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan arkeologi berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Pada Tahun 1542, Antonio de Paiva, menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari Kayu Cendana (sandal wood) . Ketika kembali tahun 1544, de Paiva singgah di tiga tempat, yaitu : Suppa, Siang dan Gowa (Pelras, 1973 : 41). Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa adalah sebuah kota yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang, namun tidak lagi begitu”. (Pelras, 1973 : 47). Laporan de Paiva ini menunjukkan kemungkinan Siang berada pada puncak kejayaan dan kemasyhuran sekitar Abad XIV – akhir XVI.
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Erofah dan sumber lokal, menyatakan Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad XIV – XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Kerajaan Lima’e Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo. Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan Somba Opu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI. (Pelras 1977 : 252-5).
Abdul Razak Dg Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan, Manurunga ri Siang, bernama Nasauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang . Garis keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Siang ( asossorangi ma’gauka ) sampai tiba masanya Karaeng Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa.
Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing – masing mendirikan Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras mengonfirmasikan tradisi tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar raja – raja dari negeri besar lain yang melintasi terirori Siang memberi hormat pada “Karaeng Siang” . (M Ali Fadhillah, 2000 : 17). Sumber Portugis banyak menunjuk periode-periode awal pertumbuhan situs-situs niaga di pesisir barat, sebagaimana catatan Pelras (1977 : 243) melihat, gelombang kedatangan Portugis ke Siang sepanjang pertengahan pertama dan akhir Abad XVI, mengacu pada masa dimana Siang sedang menurun dalam perannya sebagai kota niaga dan pusat politik di pesisir barat teritori Makassar. Dugaan itu mempunyai estimasi bahwa Siang mengacu pada apa yang dilukiskan orang dengan istilah Makassar (Macacar).
Dari kesejajaran konteks sejarahnya dengan Bantaeng di pesisir selatan, Siang dapat diterangkan pada periode pertama sebagai pelabuhan kurang dikenal, tetapi bukti-bukti arkeologi mendorong kita mengajukan estimasi awal bahwa Siang telah masuk dalam jaringan perdagangan mungkin langsung dengan pelabuhan-pelabuhan sebelah barat kepulauan. Apabila Bantaeng dan Luwu pada masa jatuhnya Majapahit mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang, semakin meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan pedagang Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari daratan Asia Tenggara daratan lainnya.
Pada periode kedua, sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenreng di daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh pusat politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng, eksis tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo.
Pusat kerajaan Siang pada mulanya tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut yang luas dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama. Frekuensi kontaknya dengan komunitas lain membawa perubahan pada pola ekonomi, terutama setelah mengenal teknologi penanaman padi basah (sawah) dan memungkinkan peralihan kegiatan ekonomi sampai ke pedalaman dengan pembukaan hutan-hutan untuk peningkatan produksi padi sebagai komoditas utama.
Tome Pires mencatat bahwa satu tahun setelah jatuhnya Malaka (1511), pulau – pulau Macacar (Makassar) merupakan tempat – tempat yang terikat dalam jaringan perdagangan interinsuler. Meskipun Pires menduga bahwa perdagangan Macacarmasih kurang penting, tetapi sejak itu, sudah menawarkan rute langsung ke Maluku dengan melalui pesisir – pesisir selatan Kalimantan dan Sulawesi ; sebuah alternatif dari rute tradisional melalui pesisir utara Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara. Namun kita harus menunggu sampai pertengahan Abad XVI, untuk mengetahui gambaran Sulawesi Selatan, yaitu sejak perjalanan Antonio de Paiva (1542-1543) dan Manuel Pinto (1545-1548) ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Tome Pires menyebut beras sebagai produk utama Macacar. Dan kenyataannya, para pelaut Portugis belakangan telah mempunyai kesan khusus akan kesuburan negeri-negeri Sulawesi Selatan yang terkenal dengan hasil hutan, beras dan makanan lainnya. (Cortesao, 1944 dalam M Ali Fadhillah, 2000).
Tonggak sejarah kolonial di Gowa tahun 1667 juga berdampak kuat di Siang. Kekalahan Gowa menghadapi aliansi Belanda-Bone berarti juga kekalahan dinasti Gowa dan kebangkitan kembali dinasti Barasa yang mendukung Arung Palakka. I Johoro Pa’rasanya Tubarania naik sebagai penguasa lokal, I Joro juga digelari Lo’moki Ba’le (penguasa dari seberang), karena ia kembali dari seberang laut (Jawa dan Sumatera) mengikuti misi Arung Palakka ke negeri sebelah barat nusantara.
Sejarah kekaraengan Lombassang atau Labakkang mulai dikenal sesudah menurunnya pamor politik ekonomi Siang. Penguasa Labakkang turut membantu Gowa menundukkan Kerajaan Barasa, dinasti pengganti Siang di Pangkajene. Setelah Gowa kalah dari Belanda (1667), Labakkang lepas dari Gowa dan masuk ke dalam kontrol VOC sebelum akhirnya menjadi wilayah administrasi Noorderpprovincien , lalu menjadi Noorderdistrichten dalam kendali administrasi Belanda berpusat di Fort Rotterdam ( Benteng Jumpandang ). Somba Labakkang ketika itu didampingi anggota adat Bujung Tallua , yang berkuasa di unit politik dan teritorial sendiri, yakni di Malise, Mangallekana dan Lombasang, sebelum lebih kompleks lagi dengan bergabungnya penguasa-penguasa kecil lainnya.
Sistem politik yang diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri – negeri taklukannya itu adalah menempatkan Ana’ Bate Karaeng , biasa disebut bate-bate’a). kemudian disusul perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada puncaknya Kerajaan Siang menjadi negeri keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi bisa dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai saat ini tidak ada satupun sumber sejarah dapat memastikan umur Kerajaan Siang sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Siang dibawah hegemoni pemerintahan Gowa sekitar 1512 – 1668.
Sistem budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi kultural Gowa, terutama sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga raja dan bangsawan Gowa. Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan Luwu, Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga Kerajaan Gowa juga mengadakan hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu kawin-mawin dengan Soppeng, Soppeng kawin-mawin dengan Tanete dan Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Ringkasnya, keturunan produk sistem kawin – mawin itu telah menjalin hubungan kekerabatan semakin luas. Siang dan beberapa unit teritori politik seperti Barasa (Pangkajene), Lombasang (Labakkang), Segeri, Ma’rang dan Segeri juga mengadakan kawin mawin antar keluarga kerajaan. Barasa berafiliasi Gowa, Bone dan Soppeng. Demikian pula Ma’rang dan Segeri. Sedang Labakkang dengan Gowa, walaupun pada awalnya Labakkang merupakan keturunan raja – raja Luwu, Soppeng dan Tanete. Tradisi kawin-mawin inilah yang menyebabkan masyarakat Pangkep telah menyatukan darah orang Bugis Makassar dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi dan adat – istiadat.
Silsilah raja – raja Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu adalah sebagai berikut : (1) Karaeng Allu ; (2) Johor atau Johoro’ (Mappasoro) Matinroe’ ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad ke-17 ; (3) Patolla Dg Malliongi ; (4) Pasempa Dg Paraga ; (5) Mangaweang Dg Sisurung ; (6) Pacandak Dg Sirua (Karaeng Bonto – Bonto) ; (7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di Pangkajene ; (8) Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ; (9) Ince Wangkang dari Malaka ; (10) Solle Dg Malleja ; (11) Andi Pappe Dg Massikki, berasal dari Soppeng ; (12) Andi Papa Dg Masalle ; (13) Andi Jayalangkara Dg Sitaba ; (14) Andi Mauraga Dg Malliungang ; (15) Andi Burhanuddin ; (16) Andi Muri Dg Lulu.
Setiap ada upacara perayaan seperti pengangkatan raja baru, pergantian raja atau upacara kebesaran lainnya yang berhubungan dengan raja, maka diwajibkan hadir Anrong Appaka ri Siang, yaitu : (1) Daeng ri Sengkaya ; (2) Lo’moka ri Kajuara ; (3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri Baru-baru. Setelah empat orang bate-bate’a ini hadir, barulah pelantikan atau acara ‘Kalompoanga ri Siang’ dapat dianggap sah. Selain keempat bate-bate’a ini juga diharapkan hadirOppoka ri Pacce’lang.
Secara sederhana, silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi Gowa ( A.Razak Dg Mile, PR : 1957 ) sebagai berikut : (a) Raja – raja dari keturunan ‘Tumanurunga ri Bontang’ diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh Lengan’. Tidak diketahui berapa generasi ! (b) Keturunan Karaengta Allu (Setelah Siang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak diketahui berapa generasi. (c) Keturunan I Johor atau Johoro’ (Mappasoro’) , sahabat Arung Palakka, dimana Arung Palakka menjadi Raja Bone sejak tahun 1672. (d) Raja – raja yang berasal dari Kerajaan Siang sendiri, mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi (di masa kompeni Belanda).
Hasil penelitian arkeologi Balai Arkeologi Makassar dan UNHAS menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh benteng kota (batanna kotayya) . Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang yang telah mati. (Fadhillah dan Irfan Mahmud, 2000 : 27). Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang, yang diperkirakan terjadi pada akhir abad XVI.
Kemenangan Gowa-Labakkang atas Barasa memberikan hak kerabat raja Gowa menduduki tahta Barasa, gelar sesudah matinya : Karaeng Matinroe ri Kammasi yang diganti oleh Karaeng Allu. Yang terakhir ini mengalihkan pusat politiknya kembali ke Siang, dan seolah menghidupkan kembali kebesaran Siang dengan memakai gelar Karaeng Siang, juga membentuk dewan adat Anrong Appaka (empat bangsawan kepala) : Kare Kajuara , Kare Sengkae, Kare Lesang dan Kare Baru-baru . Masing-masing kare mengepalai pusat kecil kekuasaan dan membentuk konfederasi dibawah otoritas Siang baru (periode Islam). Karaeng Allu juga yang menempatkan Kalompoang atau Arajang Siang dibawah pemeliharaan Oppoka ri Paccelang.
Temuan – temuan fragmen keramik hasil ekskavasi situs Siang di SengkaE, Bori Appaka, Bungoro berupa Piring dan Mangkuk Ching BW, Cepuk Cing, Mangkuk Swatow BW, Mangkuk Wangli BW, Mangkuk Ming BW, Piring Ming Putih, Piring Swatow, yang berasal dari Abad XVII-XVIII. Juga ada fragmen keramik dari Abad XVI seperti Vas Swankalok, Mangkuk Ming BW, Piring Ming BW, Piring dan Tempayan Vietnam. Jumlah keseluruhan temuan sebanyak 38 fragmen keramik. Keramik Asing dinasti Ching memberi kronologi relatif lapisan budaya Siang menyampaikan periode relatif berlangsunnya lapisan budaya negeri Siang, yang sekurang-kurang berasal dari Abad XVII-XVIII (M Ali Fadhillah dkk, 2000 : 72).
B. Revolusi Fisik
Di Sulawesi Selatan, Muncul gerakan perlawanan rakyat mempertahankan kemerdekaan. Gerakan itu kemudian menyebar ke berbagai daerah-daerah seperti Gowa, Maros, Pangkep, Pare-Pare, Sidrap, Bulukumba, Jeneponto, serta daerah – daerah lainnya. Pangkep sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) turut ambil bagian dari upaya mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno – Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Pangkep ditetapkan sebagai bagian dari wilayah RI sejak awal September 1945, yang diumumkan oleh Andi Burhanuddin. Semua pemerintah kerajaan lokal, yang juga sebagai kepala pemerintahan onderdistrict , memberi dukungan. Dukungan yang agak kuat berasal dari Andi Mandacingi (Karaeng Mandalle), Andi Page (Karaeng Segeri), dan Andi Makin (Karaeng Ma’rang). Bahkan mereka bertiga menghadap langsung Gubernur Sulawesi, Dr GSSJ Ratulangi di Makassar. Dukungan lainnya berasal dari Bungoro, Balocci, Labakkang dan Pulau.
Awal September 1945, Andi Burhanuddin membentuk Barisan Pemuda Merah Putih (disingkat Barisan PMP). Badan perjuangan yang mula terbentuk itu dipimpin oleh Zainuddin Condeng dan Abdul Latif dengan para anggotanya berasal dari bekas Heiho, Boei Taisin Tai dan Seinendan. Ada pula yang pernah dilatih oleh Pemerintah Belanda menjelang kedatangan Jepang, yakni Barisan Staatswatch . Pemuda militan ditampung dalam Barisan PMP, sehingga kekuatan perjuangan bisa terkoordinasi.
Konsolidasi Barisan PMP, kemudian dipusatkan di Mandalle. Di tempat itu, Andi Mandacingi berusaha memperkuat badan perjuangan, dengan pembinaan pemuda-pemuda. Ia dibantu oleh semua pimpinan PMP, Zainuddin Condeng dkk. Para kepala kampung dalam Distrik Mandalle diberi penjelasan tentang kemerdekaan dan usaha mempertahankannya. Pemuka masyarakat berpengaruh, menjadi sasaran utama, agar tidak menjadi sasaran bujukan NICA. Akhir September 1945, NICA memulai aksinya, antara lain membujuk tokoh masyarakat dan bangsawan lokal. Demikian, maka Andi Mandacingi menemui Mamma Daeng Mangimbangi, sepupunya sendiri. Biasanya NICA senang mengadu domba diantara bangsawan lokal yang masih dekat hubungan kekerabatannya. Melalui ucapan dalam bahasa Bugis, Mamma memberikan tanda dukungan, sebagai berikut :“paonanni lopi utonang, narekko titti-i, titti’na utonangi, narekko lumpangi, lumpanna utonangi” .
Pada 20 September 1945, kepala kampung, imam, pemuka masyarakat, dan pemuda pejuang mengucapkan ikrar kesetiaan, bertempat di kediaman raja (Saoraja) Mandalle. Peresmian Barisan Pemuda Merah Putih oleh Andi Mandacingi sekaligus menyatakan bahwa wilayah adatgemenschaap Mandalle adalah bagian dari RI. Malamnya, susunan Barisan PMP disahkan dan dipilih sebagai Pimpinan Umum, Zainuddin Condeng dengan Kepala Pasukan Abdul Lathief dan Mamma Dg Mangimbangi, Sementara Kepala Kelompok M Jamil, M Tahir Dg Liong dan Lakaterru Baco Pararang. Kepala Pemerintahan Mandalle merupakan Penguasa Hukum dan Pertahanan/Keamanan Wilayah. Sejak itu, Mandalle menjadi pusat kekuatan pejuang kemerdekaan di daerah Pangkep. Wilayah gerak meliputi daerah Segeri dan Ma’rang.
Di Segeri, dibentuk Barisan PMP, cabang Mandalle. Pada 5 Oktober 1946, terpilih sebagai Kepala Pasukan adalah Hadele dengan Kepala Kelompok yaitu Supu Dg Pasanrang, Sudding, La Magga, dan Beddu Lai. Setiap gerakan termasuk pembinaan kesatuan, dalam hal yang memungkinkan selalu terjalin kerjasama dengan pimpinan di Mandalle. Koordinasi dengan pemuda Ma’rang menghasilkan susunan pengurus Barisan PMP dengan Kepala Pasukan Abdul Lathief dan para Kepala kelompok Parellu, Baso Dg Magading, Patahuddin, M Badwi.
Wilayah gerak Barisan PMP Ma’rang, meliputi pula wilayah Kota Pangkajene yang dipimpin oleh M Badwi, karena pada saat itu NICA sudah menguasai Pangkajene dan sudah menanamkan pengaruhnya. Perkembangan organisasi perjuangan, menyebabkan diadakan susunan pengurus khusus Mandalle dengan Kepala Pasukan Mamma Daeng Mangimbangi dengan Para Kepala Kelompok : M Tahir Dg Liong, La Katerru Baco Pararang, Sabe Sanre, dan La Upe Dg Ngalle.
Pembentukan kepala pasukan di tiga tempat itu, lebih memperkokoh kekuatan pejuang. Yang menjadi hambatan, sisa masalah senjata. Orang-orang Jepang sejak bulan September sudah berkumpul di Kota Makassar. Maka, untuk dipergunakan dalam latihan, pemuda memakai tombak dan bambu runcing. Sementara Andi Mandacingi dan Zainuddin Condeng mengusahakan pengadaan senjata. Seperti di tempat lain, yang menjadi pelatih, mereka yang berasal dari Heiho, Boei Teisin Tai, dibantu Seinendan. Juga dijalin kerjasama dengan laskar GPT (Gerakan Pemuda Tanete) pimpinan Andi Abdul Muis Datu Lolo. Usaha pengadaan senjata dilakukan melalui berbagai cara. Ke Kalimantan dibawa beras untuk ditukarkan dengan senjata. Dari pulau seberang Selat Makassar itu, diperoleh berita ada orang-orang yang menyimpan senjata. Tentara sekutu yang ingin kembali, bersedia menyerahkan senjatanya, dengan tukaran makanan, terutama ayam. Juga orang Jepang yang melepaskan diri dari kesatuannya, mau menukar senjatanya dengan beras.
Ketika itu, terkenal istilah “sikokang” , artinya tukar menukar barang. M Amin Sajo ditugaskan pula mencari senjata di Makassar. Ia kebetulan mengikuti kursus kader PNI pimpinan Mr Tajuddin Noer, pada November 1945. Ke Kalimantan ditugaskan La Ribi dan kawan – kawan yang berhasil membawa kembali satu peti berisi 24 biji granat tangan dan 40 pasang pakaian dinas militer (seragam). Sambil mencari senjata, Zainuddin Condeng bersama Ishak Lubis, atas perintah Andi Mandacingi, berangkat ke Makassar. Tugas lainnya ialah menemui para pemimpin pemuda. Akan tetapi, para pemuda di Makassar pun kekurangan senjata. Mereka gagal memperoleh senjata dari Jepang, hanya karena terdapat perbedaan paham antara pemuda militan dengan kelompok Dr Ratulangi yang menekankan perjuangan diplomasi.
Di Balocci, wilayah pinggiran gunung batu sekitar Tonasa, dibentuk pula PPNI pada November 1945, dengan pimpinan H Abdul Hamid, Muhammad Hasyim, Abdul Muthalib, Ballacco Dg Parumpa dan Abdul Gani, bermarkas di Matojeng, (Sarita Pawiloy, 1987 : 158 – 163). Konsolidasi markas dipusatkan di Mandalle, pemukiman penduduk di sekitar bukit sebelah timur poros jalan raya utama. Laskar pejuang pada umumnya hanya memegang senjata tajam dan beberapa buah granat tangan. Dapat dibayangkan sulitnya perlawanan terhadap musuh yang bersenjata lengkap. Keadaan itu berlangsung hingga Juli 1946.
Di Pangkep, wadah kelaskaran cukup rapi, dan mempunyai cukup banyak anggota. Wadah yang terakhir dibentuk ialah KRIS Muda (28 Juli 1946), yang bermarkas di Coppotompong. Pimpinan dipegang oleh M Dahlan dan Zainuddin Condeng. Dalam struktur kesatuan militer, kekuatan KRIS Muda ialah satu batalion, namun hanya tenaga manusia dengan persenjataan yang terlalu kurang. Selain perlawanan bentuk sabotase, penerangan tentang kemerdekaan dan pemasangan pamflet ; adanya laskar membantu perembesan operasi laskar yang lebih kuat di daerah Pangkep.
Pada September 1946, laskar Harimau Indonesia (HI) datang ke wilayah Pangkep bagian pegunungan dan mendirikan markas di Bulu Langi. Pejuang di Mandalle, yang tergabung dalam KRIS Muda menyambut hangat laskar HI di daerahnya. Daya tarik HI ialah kelengkapan senjata mereka. Dalam bulan September 1946, seorang pejuang dari Enrekang ingin bergabung yaitu Andi Sose. Ia diterima oleh Muhammad Syah, pimpinan HI, akan tetapi diminta agar kembali ke daerah asalnya dan membentuk laskar HI disana.
Kontak senjata pasukan gabungan HI / KRIS Muda melawan KNIL meletus di Kampung Pettung. Seorang laskar pejuang gugur, bernama La Mappa (dalam bulan Oktober 1946). Dalam Nopember 1946, laskar pimpinan Mamma bertahan mati-matian atas serangan KNIL. Mamma sendiri gugur dalam pertempuran itu. Pasukan HI yang selalu mobiele dalam operasinya, sulit dijebak oleh musuh. Januari 1946, Pimpinan HI mengikuti konferensi di Paccekke atas undangan Mayor Andi Mattalatta, berdasar mandat dari Panglima Jenderal Soedirman. Selama di Mandalle-Pangkep, Pasukan HI bersama KRIS Muda dan Banteng Indonesia Sulawesi (BIS) melakukan kontak senjata dengan musuh tak kurang 20 kali dari September 1946 s.d. Maret 1947.
Tak banyak yang tahu bahwa Pulau Kalu-kalukuang, Liukang Kalmas banyak memberikan andil bagi keberhasilan perjuangan kemerdekaan RI, khususnya di Sulawesi Selatan. Pulau yang berjarak 185, 82 mil dari ibukota Pangkep itu di era revolusi fisik, dijadikan basis perjuangan/tempat persinggahan yang aman dan strategis bagi para pejuang kemerdekaan baik dari Pulau Jawa maupun dari Sulawesi Selatan sendiri. Sebut saja ekspedisi TRIPS (Tentara Rakyat Indonesia Persiapan Sulawesi) dibawah pimpinan Mayor Johan Dg Mangung yang bermarkas di Lawang, Jawa Timur beberapa kali melakukan ekspedisi ke Sulawesi Selatan pada tahun 1947 dengan menggunakan Perahu Lete’ khas buatan orang Pulau Kalu-kalukuang.
Dari sekian banyak ekspedisi itu, salah satu yang terkenal adalah ekspedisi dibawah pimpinan Kapten A Hasan Rala (mantan Bupati Maros) dengan menggunakan Perahu Lete’, yang bernama Kapten Pahlawan Laut (Kapten Baru) dari Pulau Kalu-Kalukuang. Kapal itu milik Hj St Hawa yang diawaki oleh suaminya sendiri H Bakkar Puang Menda sebagai nakhoda dengan dibantu 6 orang sawi yakni Baco, Sehe, Tangnga, Kadir, Pudding dan Lanuddin. Ekspedisi ini berjumlah 36 orang pejuang Sul-Sel, diantaranya Lettu AA Rifai dan Letda Achmad Lamo (mantan Gubernur Sul-Sel).
Ekspedisi ini berangkat pada 28 Januari 1947 dari Bondowoso, singgah di Pulau Kalu-kalukuang pada 1 Februari 1947. Setelah istirahat beberapa hari, perjalanan dilanjutkan dan singgah di CempaE, Barru pada 16 Februari 1947. Sebagai bukti keiikut-sertaan rakyat pulau Kalu-kalukuang (Liukang Kalmas) dalam sejarah perjuangan kemerdekaan RI, sampai sekarang Perahu Lete’ yang pernah dipakai dalam ekspedisi TRIPS tersebut diabadikan di Museum ALRI, Surabaya.
Perlawanan di pulau – pulau kecil dilakukan oleh PPNI / ALRI yang dibentuk oleh Ali Malaka, Abdul Khalik dan Abdul Muthalib dalam bulan Oktober, diresmikan pada 4 Nopember 1946. Pusat laskar di Pulau Sarappo Lompo. Selain melakukan perlawanan, anggota PPNBI / ALRI juga mengatur penyerangan para pejuang Sul-sel ke Jawa dan Kalimantan, meski saat itu persenjataan sangat terbatas.
Awal Maret 1947, satu peleton TRIPS dari Jawa, berangkat dari Purbalingga, tiba di Daerah Pangkep. Sebagian dari mereka telah mendarat di pesisir pantai Mandalle, ketika musuh segera datang ketempat pendaratan. Komposisi pasukan TRIPS tersebut : Danton Letda Yos Effendi, wakilnya Letda Taeras Daulat. Para komandan regu : Coni, Samaila dan La Combalang. Senjata yang dibawa hanya 41 pucuk, terdiri dari 1 pucuk mortar 3 inci, 2 pucuk owengun, 2 pucuk stengun, 2 pucuk pistol colt, dan 34 pucuk senjata karaben. Bawaan lainnya berupa 50 karung gula pasir dan 20 peti granat tangan.
Suatu tipuan licik KNIL sempat memerdaya pasukan TRIPS. KNIL mengibarkan bendera merah putih mendekati pantai, dimana pendaratan akan dilaksanakan. Melihat “kawan” sementara menyambut, Yos Effendi memerintahkan pletonnya mendarat. Ketika itu juga, serangan KNIL dilancarkan. TRIPS sadar, bahwa para penyambut ternyata adalah musuh. Kontak senjatapun akhirnya berlangsung dari pukul 18.00 sampai pukul 22.00. Dua orang pejuang gugur. Berikut seorang awak perahu tewas. Mereka yang masih berada diatas perahu segera menghindar dari tempat itu. Kemudian berlayar kembali ke Jawa.
C. Sejarah Pemerintahan Daerah
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangkajene dan Kepulauan belum bersatu dalam satu wilayah pemerintahan. Pangkajene dengan daratannya berstatus Onderafdeeling dengan nama ‘ Onderafdeeling Pangkajene ‘ dibawah taktis ‘Afdeeling Makassar ‘ dengan 7 adat gemenschap yaitu : Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma’rang, Segeri, Mandalle dan Balocci. Onder afdeeling Pangkajene waktu itu berada dibawah pengawasan seorang Gezaghebber setingkat Controleur yang berkedudukan di Pangkajene, sedang adat–adat gemenschap dipercayakan kepada karaeng – karaeng.
Wilayah kepulauan sebagai bagian dari Stadsgemente Makassar, dikepalai oleh Kepala Distrik Makassar yang wilayah meliputi : Pulau – pulau ‘Spermonde’ , terdiri dari 57 pulau, Kalu-kalukuang Group terdiri dari 8 pulau, Postelion dan Paternoster terdiri dari 52 pulau. Pulau–pulau tersebut disusun berkelompok disesuaikan jangkauan geografisnya serta diperintah oleh seorang Gallarang , yang statusnya sama dengan ‘Kepala Kampung’.
Di masa pemerintahan Jepang (1942 – 1945), Sistem pemerintahan di Pangkajene tidak berubah, yang berubah hanyalah bahasa. Adat gemeenschap dinamai “Gun”, dikepalai ‘Guntjo’, dikoordinir oleh ‘Guntjo Sodai’ dari Indonesia dibawah taktis Bunken Kanrikan dari Jepang. Sedang pulau tetap dalam wilayah ‘ Stadsgemente Makassar’ dengan penyebutan “Makassar Si”, dikepalai ‘Makassar Sitjo’ dan Distrik Makassar disebut “Makassar Gun”, dikepalai “Makassar Guntjo”.
Dengan Staatsblad 1946 / 17 Daerah – daerah bekas Rechtstreeks Bestuursgebied termasuk Onderafdeeling Pangkajene dibentuklah swapraja baru ( Neo Zelfsbestuur ), terdiri dari gabungan adat gemenschap . Wilayah kepulauan, mulai dipisah dari Gemente Makassar dengan Ketua Dewan Hadat Abdul Rahim Dg Tuppu, mantan Kepala District Makassar dengan anggota hadat : Gallarang Balang Lompo, Gallarang Barrang lompo, Gallarang Sapuka, Gallarang Salemo, Gallarang Kalu-kalukuang, dan Gallarang Kodingareng.
UU No. 22 Tahun 1948 yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat RI tetap bertahan meski Belanda belum mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan SK Mendagri No. Des. 1 / 14 / 4 / 1951, Gubernur diperintahkan mempersiapkan daerah otonom baru setingkat Daerah Swatantra Tingkat II, disusul PP No. 34 / 1952, jo. PP No. 2 / 1952, dibentuklah DAERAH MAKASSAR yang berkedudukan di Sungguminasa, Takalar, Jeneponto, Maros, Pangkajene dan Kepulauan sebagai Daerah Otonom Tingkat II.
Akibat perkembangan kehidupan bernegara, lahir pula UU Darurat No. 2 Tahun 1957, dimana DAERAH MAKASSAR dipecah menjadi Daerah : Gowa, Makassar, Jeneponto dan Takalar. Kabupaten Makassar membawahi wilayah–wilayah : (1) Onderafdeeling Pulau – Pulau ; (2) Onderafdeeling Maros ; (3) Onderafdeeling Pangkajene dengan pimpinan Bupati Kepala Daerah Andi Tjatjo. Usaha simplikasi pembentukan daerah – daerah dilanjutkan Pemerintah Pusat RI dengan UU No. 29 Tahun 1959, dimana Pangkep menjadi daerah otonom tingkat II, digabung dengan bekas onderafdeling pulau – pulau, sehingga menjadi Kabupaten Dati II Pangkep yang membawahi 9 kecamatan, yakni : Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma’rang, Balocci, Segeri Mandalle, Liukang Tupabbiring, Liukang Kalmas, Liukang Tangaya dengan Bupati pertama, Mallarangeng Dg Matutu.
Kini, Kabupaten Pangkep tidak lagi terdiri dari 9 kecamatan, tapi 12 wilayah kecamatan. Sebagai bagian dari semangat Otonomi Daerah, maka lewat Perda No. 13 / 2000 ( Lembaran Daerah No. 18 Tahun 2000) telah dibentuk tiga kecamatan baru. Wilayah administrasi pemerintahan Pangkep saat ini meliputi Pangkajene, Balocci, Bungoro, Labakkang, Ma’rang, Segeri, Liukang Tupabiring, Liukang Kalmas, Liukang Tangaya, Minasate’ne, Mandalle, dan Kecamatan Tondong Tallasa.
SEKILAS SEJARAH PENETAPAN HARI JADI KAB.PANGKEP
Dasar Pembentukan
Sebagaimana catatan otentik yang ada menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 merupakan dasar hukum pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi. Salah satu daerah tingkat II tersebut adalah Kabupaten dati II Pangkajene dan Kepulauan yang sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 termasuk dalam bagian daerah Makassar yang disebut Onderafdeling Pangkajene sebagaimana dimaksud dalam bijblad Nomor 14377 Jls surat Ketetapan Menteri Dalam Negeri Indonesia Timur tanggal, 19 Januari 1950 Nomor UPU 1/1/45 JO Tanggal, 20 Maret 1950 Nomor UPU 1/6/23.
Proses Penetapan Hari Jadi Kabupaten Pangkep
Salah satu kebanggaan bagi setiap daerah apabila mengetahui sejarah dan kelahirannya yang memberikan sesuatu makna dan nilai historis dan yuridis yang harus senantiasa tetap dijaga dan dipertahankan eksistensinya sebagai sumber motivasi moral bagi masyarakatnya.
Bertitiktolak dari motivasi tersebut dan berdasarkan atas kelahiran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, maka pemuda-pemuda kitayang terhimpun dalam wadah organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia kabupaten Pangkep terdorong untuk mencoba mencari dan menghimpun masukan-masukan pendapat dari budayawan dan teknokrat dalam suatu Seminar Kelahiran Pangkep yang berlangsung dari tanggal 26 sampai 27 Maret 1986 dengan menampilkan para nara sumber antara lain :
• Prof. Dr. A.Zainal Abidin Farid, SH.
• Prof. Dr.Syahruddin Kaseng
• Drs.A.Samad Thahir
• Aminullah Lewa BA dan
• AM.Dg. Masiga
Seminar tersebut melahirkan alternatif tentang hari Jadi Pangkep yakni, didasarkan atas tinjauan kesejarahan satu kerajaan tua yang pernah ada di Pangkep yaitu di kecamatan Bungoro yang dikenal dengan kerajaan “Siang” pada masa antara abad 16 sampai abad ke 17.
Alternatif lainnya adalah didasarkan pada pertimbangan yuridis formal yakni dasar hukum pembentukan daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan.
Bertolak dari hasil seminar tersebut, pihak pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Kepala Daerah membentuk tim perumus yang bertugas menghimpun dan merumuskan data-data yang otentik dan akurat yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hari jadi Kabupaten Pangkep, namun tim perumus dalam menetapkan Hari Jadi Pangkep atas dasar pertimbangan kesejarahan menemui kendala, oleh karena data data dan informasi tidak cukup dapat mendukung, sehingga tim perumus mencoba memanfaatkan data dan informasi dari sudut pertimbangan yuridis formal yang memberikan dua alternatif yakni, tanggal ditetapkannya surat keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah UP. 7/2/40-337 tanggal, 28 Januari 1960 tentang pengangkatan Mallarangeng Dg. Matutu sebagai Bupati Kepala Daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan yakni pada tanggal, 28 Januari 1960 dan pilihan kedua adalah dari serah terima jabatan Mallarangeng dg. Matutu sebagai Bupati Kepala Daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan.
Dua pilihan inilah yang diajukan oleh tim kepada bapak Bupati kepala daerah untuk menetapkan satu diantaranya untuk dijadikan dasar dalam rancangan Peraturan Daerah yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai bahan pembahasan.
Berdasarkan dua pilihan yang diajukan tim tersebut, oleh Bupati Kepala Daerah dalam hal ini Bpk. M.R. Natsir menetapkan serahterima jabatan dari Andi Tjatjo kepada Mallarangeng Dg. Matutu sebagai momentum kelahiran Pangkep untuk disampaikan pada DPRD namun masih ditemukan sedikit permasalahan dengan tidak ditemukannya berita acara pelantikan Mallarangeng Dg. Matutu.
Berkat keterangan Bpk. Mallarengeng Dg. Matutu secara pribadi bahwa pelantikan tersebut seingat beliau dilaksanakan pada hari Senin sebelum tanggal, 10 Februari dan setelah melihat penanggalan tahun 1960, menunjukkan bahwa hari Senin jatuh pada tangal 1 dan tanggal 8 Februari 1960.
Hal inilah yang menjadi pengajuan rancangan peraturan daerah (Perda) kepada DPRD Tingkat II Pangkep.
Berdasarkan data-data diatas, maka pada tanggal, 10 Februari 1992 rancangan perda tentang Hari Jadi Kabupaten daerah Tingkat II Pangkajene dan Kepulauan dibahas secara bersama-sama oleh pihak eksekutif dan legislatif dalam rapat paripurna tingkat I di gedung DPRD tingkat II Pangkep.
Dalam pembahasan rancangan Perda pihak legislatif cukup berhati-hati dan jeli untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Pangkep, sehingga pembahasannya dilakukan dalam sidang-sidang komisi khusus/gabungan yang menggunakan waktu cukup lama.
Berkat upaya dan kesungguhan semua pihak utamanya pihak eksekutif dan legislatif, pemuka masyarakat dan generasi muda akhirnya berhasil ditemukan salah satu arsip yang sangat menentukan penetapan Hari jadi tersebut, berupa arsip pidato/sambutan bupati kepala daerah pertama yaitu Bpk. Mallarangeng Dg. Matutu pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke 15 pada tanggal 17 Agustus 1960.
Dalam pidato tersebut terdapat kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
“ ………. Sebagaimana kita ketahui pada hari Senin tanggal 8 Februari 1960 pimpinan pemerintahan di daerah ini telah ditimbang terimakan oleh pimpinan lama kepada yang baru.”
Atas dasar data otentik itu, akhirnya dipilih dan disepakati bersama pihak eksekutif dan legislatif untuk menetapkan hari jadi kabupaten daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan jatuh pada tanggal 8 Februari 1960 yakni saat pelantikan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pangkep yang pertama yaitu Bpk. Mallarangeng Dg. Matutu secara defacto sebagai pejabat kepala daerah.
Untuk itu, maka pada tanggal 9 Juli 1992 dalam sidang paripurna DPRD ditetapkan rancangan peraturan daerah tentang Perda Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Pangkep yakni peraturan daerah nomor 4 tahun 1962 yang menetapkan tanggal, 8 Februari sebagai Hari jadi kabupaten Pangkep.
Sebagai proses lanjut atas penetapan Perda tersebut, agar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka pada tanggal 24 Juli 1962 diajukan pengusulan pengesahannya kepada Gubernur kepala Daerah Tingkat I Sulsel sebagai pejabat yang mengesahkan.
Setelah melalui pemeriksaan secara teliti dan mendalam pada Biro Hukum Setwilda tingkat I dan melakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya, akhirnya disetujui pengesahan Perda ini dengan surat keputuan Gubernur Tingkat I Sulsel No.100/8/92 tanggal 28 Agustus 1992 dan dicantumkan dalam lembaran daerah kabupaten daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan nomor 7 tahun 1962 seri D Nomor 4.
Dengan lahirnya perda tentang hari jadi kabupaten daerah tingkat II Pangkep, maka hal ini menunjukkan tuntutan tanggungjawab kepada seluruh warga masyarakat kabupaten pangkep untuk menjaga dan melestarikan jatidiri daerahnya sebagai suatu yang tidak ternilai dan menjadikannya sebagai suatu kekuatan baru dalam memotivasi diri dalam mempertahankan keseinambungan didaerah ini.
Nama-nama Bupati dan wakil bupati Pangkep dari masa ke masa
1. Andi Mallarangan Periode 1960-1966
2. Brigjen (purn) HM. Arsyad B Periode 1966-1979
3. Kol. (Purn) H. Hasan Sammana Periode 1979-1984
4. Kol. (Purn) Djumadi Junus Periode 1984-1989
5. Kol. (Purn) H.M.R. Natsir Periode 1989-1994
6. Kol. CZI. Baso Amirullah Periode 1994-1999
7. HA.Gaffar Patappe (bupati) Periode 1999-2004
Drs. HM. Saman Sadek (Wakil bupati)
8. H. Basrah Hafid SH, MM (penjabat bupati) Periode 2004-2005
9. Ir.H.Syafrudin Nur Msi (bupati) Periode 2005-2010
HA. Kemal Burhanuddin BSc (wakil bupati)
Diolah Dari Buku :Sejarah dan Kebudayaan Pangkep Edisi Revisi
Sumber: http://www.pangkep.go.id (Site Resmi Pemerintah Kabupaten Pangkep)
0 komentar:
Posting Komentar